Pada zaman dahulu, hiduplah seorang lelaki yang memiliki dua kebun yang luas dan lapang. Kebun – kebun itu ditanaminya dengan pohon anggur. Diantara kedua kebun ini terdapat sebuah ladang yang juga cukup luas. Ladang ini seolah – olah menjadi pemisah bagi kedua kebun anggur tersebut. Oleh pemiliknya, disekeliling kedua kebun anggur ini lantas ditanaminya dengan pohon – pohon kurma pilihan sebagai pagar.
Kebun – kebun dan ladang ini segera saja tumbuh lebat dan menghasilkan banyak buah – buahan. Buah – buahan yang dihasilkan adalah buah – buah yang segar, besar dan seperti tidak pernah ada habisnya.
Melihat itu semua, menjadi senanglah hati Lelaki sang Pemilik Kebun. Apalagi diantara kedua kebun ini juga mengalir pula sebuah sungai kecil yang jernih airnya. Gemercik air sungai yang mengalir itu terdengar merdu dan menyenangkan. Sungguh, kebun dan ladang lelaki ini benar – benar indah dan membanggakan hati pemiliknya.
Karena melimpahnya hasil kebun – kebun dan ladangnya, Lelaki ini segera menjadi orang kaya raya yang disegani. Pengikutnya pun banyak. Mereka semua adalah orang yang terkagum – kagum pada kekayaan sang Lelaki tersebut.
Sementara itu sang pemilik dua kebun juga memiliki seorang kawan yang saleh dan taat kepada Allah. Kawannya ini juga memiliki kebun anggur. Kebun itu diolah dan dipeliharanya dengan baik dan sungguh – sungguh. Hanya sayangnya, hasil kebun sang kawan tidaklah sebanyak dan sebagus hasil kebun milik lelaki pertama.
Kadangkala dalam satu dua kesempatan, mereka bertemu dan bercengkrama. Biasanya, lelaki pertama akan menyombongkan kekayaannya.
"Ah, masih sedikit saja hasil kebunmu kawan ? Kasihan sekali. Kau lihat ? Hartaku jauh lebih banyak dari hartamu dan pengikutku juga banyak." Kata sang Lelaki Pemilik dua Kebun.
Kawannya tidak begitu memperdulikan omongan itu, karena ia merasa telah mengolah kebunnya dengan sebaik – baiknya. Kalau hasilnya tidak sebaik dan sebanyak hasil kebun temannya itu, ia yakin bahwa itu adalah ketetapan Allah yang sudah diperuntukkan baginya.
Kesombongan lelaki ini rupanya semakin menjadi – jadi. Sehingga dia menjadi orang yang kufur atas nikmat Allah. Pada suatu hari, lelaki ini memasuki kebunnya dengan congkak lalu ia berkata, "Ah, kebunku yang indah. Aku dapat merasakan bahwa kebun ini tidak akan binasa untuk selama – lamanya. Bahkan hari kiamat pun kuyakin tak akan tiba." Lalu diteruskannya perkataannya yang penuh ketakaburan itu.
"Melihat kekayaan dan kedudukanku di tengah masyarakat, aku yakin seandainya ada kebangkitan dan kehidupan kembali, dan aku dikembalikan kepada Tuhanku, maka tentu aku akan berada disisiNya dengan kemuliaan dan keutamaan. Di sana Tuhanku akan memberi ganjaran yang lebih baik pula dari kebun ini. Karena Tuhanku telah memuliakanku dengan kebun ini, tentulah Tuhanku akan memberi kemuliaan pula kelak." Pikir Lelaki tersebut dengan sombong.
Omongan semacam ini juga diutarakannya pada kawannya yang mukmin sebagai sebuah ejekan. Dia ingin menunjukkan bahwa karena bekal kekayaannya jauh lebih banyak, maka ia lebih mulia dan utama dari si mukmin.
Kawannya yang mukmin tak sedikit pun terpukau dengan kekayaan temannya. Ia justru memahami bagaimana temannya ini telah jatuh kedalam perilaku zhalim. Maka dinasehatinya sang teman.
"Apakah kamu akan kafir pada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari tanah, lalu dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki – laki yang sempurna ? Adapun aku, aku percaya bahwa Dialah Allah, Tuhanku. Dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." Kata sang Mukmin. Temannya terdiam sejenak mendengar ucapan itu. Ketika itu kawannya yang mukmin menambahkan nasehatnya.
“Dan saat memasuki kebun, mengapa kamu tidak mengucapkan Masya Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billah (sesungguhnya semua ini terwujud atas kehendak Allah. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." Lanjut sang Mukmin menasehati kawannya yang zhalim.
"Hah !" sergah kawannya yang zhalim. "Bagaimanapun aku lebih kaya dan lebih mulia darimu."
Gemas sekali kawan yang mukmin ini mengetahui bahwa temannya tetap sombong dan kufur nikmat. Maka dilanjutkannya omongannya dengan tegas. "Kalau kamu menganggap aku lebih sedikit darimu dalam hal memiliki harta dan keturunan, maka mudah – mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku kebun yang lebih dari pada kebunmu. Dan mudah-mudahan saja Dia mengirimkan petir dari langit kepada kebunmu hingga kebunmu menjadi tanah yang licin, atau airnya surut ke dalam tanah hingga sekali – kali kamu tidak akan dapat menemukannya lagi". Lalu ditinggalkannya temannya yang sombong dan zalim itu untuk dapat merenungi ucapannya.
Keesokan harinya, seperti biasa lelaki zhalim itu mendatangi kebun kebanggaannya. Sudah tidak diingatnya lagi sindiran tajam kawannya yang shaleh itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setibanya didepan kebunnya.
"Ha ! Dimana kebunku ? Dimana kebunku yang indah dan subur itu ?" ratapnya ketika melihat kebun-kebun dan ladangnya telah hancur semua.
Pohon – pohon anggurnya roboh berikut para – para penyangga buahnya. Pohon – pohon kurmanya tumbang. Bahkan sungai – sungai yang selalu bergemericik itu lenyap pula ditelan bumi yang terbelah.
Terduduk di pinggir tanahnya yang porak poranda, lelaki zhalim itu menyadari bahwa seluruh kekayaannya telah musnah binasa. Tanpa terasa, dibolak – baliknya tangannya sebagai sebuah penyelesalan mengingat segala biaya yang sudah dikeluarkannya selama ini untuk mengolah dan memelihara kebun serta ladangnya.
Hatinya kini dipenuhi rasa sesal. Ia telah kufur nikmat. Dan hanya dalam semalam, ternyata Allah telah mencabut semua nikmat itu dari hidupnya.
Dengan berurai air mata lelaki itu pun berkata, "Aduhai, seandainya saja dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Allah, mungkin nasibku tidak akan menjadi begini”. Tetapi penyesalan yang datang terlambat tidak ada lagi gunanya. Kekayaan dan kemuliaan yang disangkanya abadi, telah diambil oleh pemilik-Nya semula yaitu Allah SWT, maka tinggallah lelaki itu meratapi nasib buruk yang dipilihnya sendiri.
Dari Surat Al Kahfi : 32-44
----------- www.alkisaah.blogspot.com ----------