Breaking News
Loading...
Saturday 17 March 2012

Hakim Syuraih yang Adil

7:12:00 pm
Setiap pagi, Syuraih bin Al Harits Al Kindi berangkat ke tempat kerjanya. Wajah dan sorot matanya tenang menyiratkan kearifan pribadinya. Dari kearifannya itu pula keluar sikap dan pendiriannya yang teguh. Ia adalah seorang Hakim yang disukai dan disegani masyarakat.

Syuraih terbiasa menghakimi kalangan Kaum Muslimin maupun orang-orang bukan muslim. Di pengadilannya, Syuraih tidak membedakan antara Pejabat atau Rakyat Kecil, kaya atau miskin, muslim atau bukan muslim. Jika ia bersalah tetap tidak boleh dibela. Semua orang mendapat perlakuan yang adil dan bijaksana.

Hari itu Syuraih kedatangan Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Rupanya, Khalifah ‘Umar sedang mendapat masalah dengan seorang Pedagang Desa. Keduanya menghadap Syuraih untuk mendapatkan keputusan atas perkara yang dihadapinya.

Dengan wajah yang tenang dan berwibawa, Syuraih memimpin sidang pengadilan.

“Silakan Tuan Pedagang, apa yang mau Anda sampaikan ?” tanya Syuraih.

“Pak Hakim yang mulia, beberapa hari yang lalu Amirul Mukminin membeli seekor kuda dari saya,” kata Pedagang. “Tapi kemarin, tiba-tiba ia ingin mengembalikannya lagi dan meminta ganti,” lanjutnya.

Syuraih lalu berpaling pada Khalifah ‘Umar. “Dan sekarang giliran Anda, ya Amirul Mukminin,” kata Syuraih.

“Aku ingin mengembalikan kuda itu padanya karena kudanya cacat dan berpenyakit sehingga larinya tidak kencang,” kata ‘Umar bin Khattab.

“Bagaimana Tuan ?” tanya Syuraih lagi.

“Saya tidak akan menerimanya lagi, karena saya sudah menjual kuda itu dalam keadaan sehat dan tidak cacat,” sahut Pedagang Kuda itu. Syuraih mendengarkan semua keterangan dari kedua pihak dengan seksama. Lalu, Syuraih pun bertanya pada Umar bin Khattab.

“Apakah ketika Amirul Mukminin membeli kuda itu, keadaannya sehat dan tidak cacat ?” tanya Syuraih seraya menatap Umar.

“Ya benar !” jawab ‘Umar jujur.

Hakim Syuraih pun memberi keputusan atas perkara itu. “Nah, kalau begitu, peliharalah apa yang Anda beli. Atau bila ingin mengembalikannya, kembalikanlah seperti ketika Anda menerimanya,” tukas Syuraih dengan mantap.

Hati Amirul Mukminin merasa tidak puas. Kekecewaan memenuhi rongga dadanya. Hakim Syuraih berada dipihak pedagang desa itu.

“Begitukah keputusanmu, Hakim Syuraih ?” tanya ‘Umar setengah memprotes keputusan itu. Syuraih menganguk pasti. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat.

Khalifah ‘Umar merenung beberapa saat. Benar sekali apa yang dikatakan hakim itu. Syuraih telah memberikan keputusan yang bijaksana dan penuh keadilan. Dengan lapang dada, ‘Umar dapat menerimanya. Jangan mentang – mentang ia pejabat, lalu harus selalu dimenangkan perkaranya. Sementara nasib Rakyat Kecil tidak diperhatikan.

Begitulah, orang-orang selalu mempercayakan perkaranya diputuskan oleh Syuraih. Pengadilannya adalah tempat mendapatkan tempat yang seadil-adilnya. Hingga pemerintahan ‘Ali bin Abu Thalib, Syuraih tetap memangku jabatan Hakim yang amat disegani dan dipercaya masyarakat kota Khuffah.

Suatu hari, Khalifah ‘Ali mendatangi Hakim Syuraih untuk mengajukan perkara dengan seorang Yahudi.

“Ada masalah apa, ya Amirul Mukminin?” tanya Syuraih.

“Pak Hakim, aku mendapatkan baju perangku ditangan orang ini. Padahal, aku tidak pernah memberikan atau menjualnya pada siapapun,” sahut Khalifah ‘Ali.

“Bagaimana pendapatmu, wahai Tuan Yahudi ?” tanya Syuraih pada lelaki itu.

“Bukan ! Ini baju perangku. Sebab, sekarang berada di tanganku.” Bantah orang itu tak mau kalah. Dengan bijaksana Syuraih menerima pendapat orang itu. Kemudian menoleh pada Khalifah ‘Ali.

“Bagaimana Anda yakin kalau baju perang itu milikmu ?” tanyanya lagi pada ‘Ali.

“Aku yakin sekali. Karena satu-satunya orang yang memiliki baju perang seperti itu hanya aku. Baju perang itu terjatuh di suatu tempat. Dan kini, baju perang itu ada padanya. Bagaimana mungkin aku menjualnya di pasar ?” jawab ‘Ali kemudian.

“Aku tidak meragukan apa yang Anda katakan itu. Tapi Anda wajib mengajukan dua orang saksi untuk dijadikan saksi atas apa yang Anda akui itu,” kata Syuraih.

“Baiklah, aku bersedia mendatangkan dua saksi,” kata ‘Ali. Khalifah ‘Ali begitu menyayangi baju perangnya. Karena baju itu, harta yang sangat berharga dan tinggi nilainya bagi Khalifah. Ia sangat berharap baju perangnya bisa dimilikinya kembali.

“Pembantuku, Qanbar, akan kujadikan saksi. Dan satu lagi, Al Hasan, anakku,” sahut Khalifah ‘Ali bersemangat. Sudah pasti keduanya dapat dijadikan saksi atas kebenaran ucapannya.

“Ya, Amirul Mukminin ! Tidaklah sah kesaksian seorang anak terhadap ayahnya,” kata Syuraih mengingatkan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah.

“Subhanallah ! Kesaksian Al Hasan, salah seorang pemuda penghuni surga tidak diterima,” ucap ‘Ali mengeluh sedih.

“Betul ! Aku hanya tidak membolehkan kesaksian anak pada ayahnya,” tegas Syuraih tak bergeming. Pendiriannya berdasarkan ajaran Allah. Walaupun itu menyangkut Khalifah besar, seorang ayah dari pemuda penghuni sorga yang telah disabdakan Rasulullah.

Khalifah ‘Ali menarik napas berat mendengar keputusan Syuraih. Hatinya kecewa. Ia merasa kalah dan tak dapat memiliki baju perangnya kembali.

“Aku tidak punya saksi lain. Jadi, baju perang ini memang milikmu,” kata ‘Ali menyerahkan baju perangnya pada orang Yahudi itu. Ya ! Jauh di lubuk hati, Khalifah ‘Ali mengakui kalau Hakim Syuraih sudah bertindak dengan benar. Apa yang di tetapkan Allah harus ditegakkan. Tak terkecuali terhadap dirinya yang seorang Khalifah.

“Ya Amirul Mukminin !” Tiba-tiba Yahudi itu bersimpuh di hadapan Khalifah ‘Ali.

“Memang betul ! Baju perang ini milikmu ! Hari ini, aku melihat seorang Hakim yang begitu teguh menegakkan ajaran Allah. Ia memenangkan aku. Sungguh ! Aku lihat Islam melakukan kebenaran ! Saat ini juga aku akan menjadi penganut Islam.......,” kata orang itu.

“Pak Hakim yang mulia, sebenarnya, aku telah memungut baju perang Amirul Mukminin sewaktu terjatuh pada peperangan di Siffin !” sahut orang Yahudi itu mengakui yang sebenarnya.

Mendengar perkataan orang itu, khalifah ‘Ali berubah wajahnya. Ia segera merangkul lelaki itu seraya tersenyum bahagia.

“Karena kau sudah masuk Islam, maka kuhadiahkan baju perang itu kepadamu. Dan juga kuda ini,“ sahut Khalifah ‘Ali dengan tulus.

Sungguh mengagumkan keputusan yang diberikan Hakim Syuraih !. Dan sangat berbeda dengan apa – apa yang terjadi dengan Para Hakim masa kini. Mereka sangat mudah sekali untuk disuap. Karena memang mereka menjadi Hakim, hanya untuk mencari dan memperbanyak uang saja, bukan untuk menegakkan perkara dengan adil dan benar. Karena prinsip mereka, ‘Siapa yang bisa membayar lebih tinngi, maka dialah yang menang’.

---------- www.alkisaah.blogspot.com -----------

0 komentar:

Post a Comment

Sampaikan Saran Terbaik Anda ..

 
Toggle Footer